Tujuh anak lelaki dalam cerita ini adalah tujuh orang bersaudara yang
dilahirkan oleh sepasang suami-istri di sebuah kampung di daerah Nanggro
Aceh Darussalam, Indonesia. Ketujuh anak lelaki tersebut sungguh
bernasib malang. Ketika masih kecil, mereka dibuang oleh kedua orangtua
mereka ke tengah hutan jauh dari perkampungan. Mengapa ketujuh anak
lelaki itu dibuang oleh kedua orangtua mereka? Lalu, bagaimana nasib
mereka selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tujuh Anak Lelaki
berikut ini!
Alkisah, di sebuah kampung di
daerah Nanggro Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang mempunyai
tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua
berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam
sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar.
Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan
tenteram.
Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau
yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk
kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin
hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai.
Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk
keluarga sepasang suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.
Melihat
keadaan tersebut, sepasang suami-istri tersebut menjadi panik. Tanaman
sayuran yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka tidak lagi
tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menanam
sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir keras mencari jalan keluar
dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan jawabannya. Akhirnya,
mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak mereka ke sebuah hutan
yang letaknya jauh dari perkampungan.
Pada suatu malam, saat
ketujuh anaknya sedang tertidur pulas, keduanya bermusyawarah untuk
mencari cara membuang ketujuh anak mereka.
“Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?” tanya sang Istri bingung.
“Besok
pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar ke sebuah hutan yang
letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan siang, kita
berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.
“Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.
Tanpa mereka sadari, rupanya anak ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan mereka.
Keesokan
harinya, sepasang suami-istri itu mengajak ketujuh putranya ke hutan
untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di hutan yang terdekat, sang Ayah
berkata kepada mereka:
“Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari
hutan yang luas dan banyak pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu
bakar yang lebih banyak lagi,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.
Setelah
berjalan jauh, sampailah mereka di sebuah hutan yang amat luas.
Alangkah gembiranya mereka, karena di hutan itu terdapat banyak kayu
bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan.
Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak ketujuh anaknya
untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari bekerja.
Pada
saat itulah, sepasang suami istri itu hendak mulai menjalankan
recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di tengah hutan itu.
“Wahai
anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini dulu. Aku dan ibu
kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena persediaan air
minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.
“Jangan lama-lama ya, Ayah... Ibu...!’” sahut si Bungsu.
“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti suaminya.
Sementara
itu, setelah menunggu beberapa lama dan kedua orangtua mereka belum
juga kembali, ketujuh anak itu mulai gelisah. Mereka cemas kalau-kalau
kedua orangtua mereka mendapat musibah. Akhirnya, si sulung pun mengajak
keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua orangtua mereka. Namun,
sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba angkat bicara.
“Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu. Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.
“Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.
“Tadi
malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku mendengar pembicaraan
ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah hutan ini,
karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua akibat
kemarau panjang,” jelas anak ketiga.
“Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya anak kedua.
“Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak ketiga.
Akhirnya
ketujuh anak itu tidak jadi pergi menyusul kedua orangtuanya, apalagi
hari sudah mulai gelap. Mereka pun segera mencari tempat perlindungan
dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari tempat mereka berada, ada
sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti gua. Mereka pun
beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga pagi hari.
“Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita harus pergi?” tanya si anak kedua.
“Kalian
tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon yang tinggi. Barangkali
dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap. Jika ada, itu
pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.
Ternyata
benar, ketika berada di atas pohon, si Sulung melihat ada kepulan asap
dari kejauhan. Ia pun segera turun dari pohon dan mengajak keenam
adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut. Setelah berjalan jauh,
akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan. Alangkah terkejutnya
mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar berdiri tegak di
pinggir kampung.
“Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.
“Waaahhh... jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak keenam.
Baru
saja kata-kata itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar suara
keras dari dalam rumah itu meminta mereka masuk ke dalam rumah. Beberapa
saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar. Rupanya, dia adalah
raksasa betina.
“Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina itu.
“Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.
Mendengar
keterangan itu, tiba-tiba si Raksasa Betina merasa iba kepada mereka.
Ia pun segera mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya, lalu
menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh karena sudah
kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
“Habiskan
cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng! Kalau tidak, kalian akan
dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari berburu,” ujar
Raksasa Betina.
Oleh karena takut dimakan oleh Raksasa Jantan,
mereka pun segera menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke atas
loteng untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang
dari berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau
makanan enak.
“Waaahhh... sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil menghirup bau sedap itu.
“Bu!
Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium bau manusia. Di
mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.
“Aku
menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih kecil-kecil. Biarlah
kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,” jawab
Raksasa Betina.
Si Raksasa Jantan pun menuruti perkataan
istrinya. Selamatlah ketujuh anak itu dari ancaman Raksasa Jantan.
Keesokan harinya, ketika si Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke
hutan, si Raksasa Betina pun segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu
pergi. Namun, sebelum mereka pergi, ia membekali mereka makanan
seperlunya selama dalam perjalanan. Bahkan, si Raksasa Betina yang baik
itu membekali mereka dengan emas dan intan.
“Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa depan kalian,” kata Raksasa Betina.
“Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.
Setelah
berjalan jauh menyusuri hutan lebat, menaiki dan menuruni gunung,
akhirnya tibalah mereka di tepi pantai. Mereka pun segera membuat perahu
kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas. Setelah beberapa lama
berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang
raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual semua emas
dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya. Hasil
penjualan tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan.
Masing-masing mendapat tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh
bersaudara itu sangat rajin bekerja dan senantiasa saling membantu.
Beberapa
tahun kemudian, mereka pun telah dewasa. Berkat kerja keras selama
bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harta kekayaan yang banyak.
Kemudian masing-masing dari mereka membuat rumah yang cukup bagus.
Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan sejahtera.
Pada
suatu hari, si Bungsu tiba-tiba teringat dan merindukan kedua
orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam kakaknya datang ke rumahnya
untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua mereka.
“Maafkan
aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke sini, karena ingin
mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu. Aku sangat merindukan
mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si Bungsu
kepada saudara-saudaranya.
“Iya, Adikku! Kami juga merasakannya
seperti itu. Kami sangat rindu kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan
kita semua,” tambah anak keenam.
“Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.
“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.
Keesokan
harinya, berangkatlah ketujuh orang bersaudara itu mencari kedua
orangtua mereka. Setelah berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka
di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka berjalan dari satu kampung ke
kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka datangi, namun belum juga
menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun menemukan kedua
orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita. Ketujuh orang
bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua mereka.
Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk
hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.
Sejak itu, kedua
orangtua itu berkumpul kembali dan hidup bersama dengan ketujuh orang
anaknya. Mereka senantiasa menyibukkan diri beribadah kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Segala keperluannya sudah dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya
yang sudah cukup kaya.
***
Demikian cerita Tujuh Anak
Laki-Laki dari daerah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Indonesia.
Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan
sifat mandiri. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh
anak laki-laki tersebut. Mereka senantiasa bekerja keras, menggarap
lahan perkebunan mereka, sehingga mendapatkan hasil yang melimpah dan
menjadi orang yang kaya di kampungnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
wahai ananda dengarlah manat,
tunjuk dan ajar hendaklah ingat
bulatkan hati teguhkan semangat
supaya hidupmu beroleh rahmat
Pelajaran
lain yang dapat dipetik adalah keutamaan sifat pandai membalas budi.
Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh anak laki-laki
tersebut. Meskipun kedua orangtua mereka telah membuangnya ke tengah
hutan, mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari orangtua yang
telah melahirkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu pilihan,
membalas budi ia utamakan
(Samsuni /sas/100/09-08)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar