Amat Mude adalah seorang putra mahkota dari Kerajaan Alas, Nanggroe Aceh
Darussalam, Indonesia. Sebagai pewaris tahta kerajaan, ia berhak
menjadi Raja Negeri Alas. Namun karena ia masih kecil dan belum sanggup
mengemban tugas sebagai raja, maka untuk sementara waktu tampuk
kekuasaan dipegang oleh pakcik (paman)-nya. Pada suatu hari, sang Pakcik
membuang Amat Mude dan ibunya ke sebuah hutan, karena tidak ingin
kedudukannya sebagai Raja Negeri Alas digantikan oleh Amat Mude.
Bagaimana nasib permaisuri dan Putra Mahkota Kerajaan Alas selanjutnya?
Ikuti kisahnya dalam cerita Putra Mahkota Amat Mude berikut ini!
Alkisah,
di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang
diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya
selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan
damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena
belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya
yang sudah memiliki seorang anak.
Pada suatu hari, sang Raja
duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya,
tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.
“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.
“Dindaku
tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai
seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang
Raja.
“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat
merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib
dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga
membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan
Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.
Alangkah
sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat
beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan
perhatian kepadanya.
“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia
mempunyai permaisuri seperti Dinda yang pandai menenangkan hati Kanda,”
ucap sang Raja memuji permaisurinya.
Sejak itu, sang Raja dan
permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka dapat
terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya
berdoa dengan penuh khusyuk.
“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami
seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan ini. Hamba rela
tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai seorang
putra,” pinta sang Raja.
Sebulan kemudian, permaisuri pun
mengandung. Alangkah senang hati sang Raja mengetahui hal itu. Kabar
tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru negeri.
Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi
akan memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.
Waktu
terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan.
Pada suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang
sehat dan tampan. Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil
menimang-nimang putranya. Begitupula sang Raja senantiasa bersyukur
telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama ini ia
idam-idamkan.
“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.
Seminggu
kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni
upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh
hari tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas,
melainkan juga seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut
maupun di darat. Seluruh tamu undangan tampak gembira dan bersuka ria.
Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan nama putra Raja, yakni Amat
Mude.
Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh badannya terasa lemah dan letih.
“Dinda!
Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa
Kanda dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.
Mendengar
ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari
hal itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan
dipanjangkan umurnya. Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati
penyakit sang Raja. Namun, tak seorang pun yang berhasil
menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari bertambah parah.
Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga
istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.
Oleh karena Amat Mude
sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan belum
sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat
Mude yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai
seorang raja, apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang
membuatnya enggan digantikan kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude.
Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan. Mulanya, sang Raja memindahkan
Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang semula tinggal di ruang
tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering menangis, sehingga
mengganggu setiap acara penting di istana.
Tipu muslihat Raja
Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia mengumpulkan
beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.
“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke tengah hutan!” titah Raja Muda.
“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.
“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab Raja Muda.
“Ampun,
Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang
permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal
yang lain.
“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari tanganku,” ungkap Raja Muda.
“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap pengawal yang lain.
“Hei,
kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika
tidak, kalian akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.
Mendengar
ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara,
karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan
mendapat hukuman berat.
Keesokan harinya, berangkatlah para
pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat Mude ke tengah hutan.
Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal seadanya. Untuk
melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu
dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon
rindang. Untuk bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan
yang banyak tersedia di sekitar mereka.
Waktu terus berjalan. Tak
terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang
cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat
Mude menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan
dibuatnya mata pancing.
Keesokan harinya, Amat Mude pergi
memancing di sebuah sungai yang di dalamnya terdapat banyak ikan. Dalam
waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang hampir sama
besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.
“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.
“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.
Lima
ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul
pikiran permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang
terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat
Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika akan menawarkan ikan itu
kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar kaya dan pemurah.
Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.
“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu heran.
Permaisuri
pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan
putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya
yang sangat memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka
mampir ke rumahnya dan membeli semua ikan jualan mereka.
Sesampainya
di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan
tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong
ikan tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan
memotong perut ikan tersebut dengan pisaunya.
“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu dalam hati dengan penuh keheranan.
Setelah
berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya
perut ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat
telur ikan berwarna kuning emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil
suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah diamati dengan seksama,
ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah emas
murni.
“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!” pinta saudagar itu kepada istrinya.
“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.
“Uang
hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang
bagus sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin
membalas budi baik sang Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak
membantu kita,” ujar saudagar itu kepada istrinya.
“Baik, Bang!” jawab sang Istri.
Kemudian
saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan
putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar
kabar itu, permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka
jika mantan sahabat suaminya itu sangat baik kepada mereka.
“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.
“Ampun,
Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar
itu sambil memberi hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.
Menjelang
sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke
gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan
membekali mereka makanan yang lezat-lezat.
Beberapa lama
kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan
Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk
memancing. Ikan-ikan yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan
selebihnya dijual ke penduduk sekitar. Di antara ikan-ikan yang
diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut sedikit demi
sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya
raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.
Berita
tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga
Pakcik Amat Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan
Amat Mude, karena tidak ingin melepaskan kekuasaannya.
Pada
suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk
menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah
terkejutnya Raja Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan
memberi hormat di hadapannya. Dalam hatinya berkata, “pemuda ini
benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai raja”. Maka ia pun
memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa gading di sebuah
pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan
untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui
menuju ke pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang
melewati lautan itu, maka akan celaka.
“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.
Oleh
karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera
melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat
Mude di sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk
mencapai pulau itu. Pada saat ia sedang duduk termenung berpikir,
tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Silenggang Raye
yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat Mude pun
menjadi ketakutan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.
“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan maksud perjalanannya.
Mendengar
cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga
itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran
melihat sikap ketiga binatang raksasa itu.
“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.
“Ampun,
Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua
diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.
“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung Naga besar itu.
“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.
Akhirnya,
Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke
pulau yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu.
Sebelum Amat Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin
ajaib kepada Amat Mude. Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua
permintaan akan dikabulkan.
Setelah itu, Amat Mude pun segera
mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama mencari, ia pun
menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya
memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin
ajaib yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat
dengan mudah dan cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik
buah kelapa gading itu, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang
sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang berhasil memetik buah kelapa
gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”
“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.
“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.
Ketika
Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir
kelapa gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di
belakangnya. Alangkah takjubnya ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer
Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang Putri pulang ke rumah
untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan ramai di
kediaman Amat Mude.
Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan
ibunya segera menyerahkan buah kelapa gading yang diperolehnya kepada
Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman mati. Bahkan, berkat
ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar akan
kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah
yang berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas
permintaan Raja Muda, Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.
* * *
Demikian
cerita Putra Mahkota Amat Mude dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satunya adalah keutamaan sifat tabah dan giat berusaha. Sifat ini
tercermin pada sikap permaisuri dan Amat Mude yang senantiasa bersikap
tabah menghadapi penderitaan dan selalu giat berusaha. Akhirnya mereka
menjadi kaya dan hidup bahagia. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
Pelajaran
lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika perbuatan
jahat seseorang dibalas dengan kebaikan, maka suatu saat orang yang
berbuat jahat tersebut akan menyadari perbuatan jahatnya dan akan
berbuat baik. Hal ini tergambar pada sikap dan perilaku Raja Muda yang
selalu berniat jahat kepada Amat Mude, namun Amat Mude senantiasa
membalas niat jahatnya tersebut dengan kebaikan. Akhirnya, Raja Muda pun
menyadari perbuatannya dan menobatkan Amat Mude menjadi Raja Negeri
Alas. (Samsuni /sas/112/11-08)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar